Senin, 26 Juli 2010

17.00 WITA, KMH Tiba di Lempuyang Luhur


Minggu, 25 Juli 2010 merupakan momentum awal dari kebangkitan Mahasiswa/Mahasiswi Umat Hindu Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Indonesia(STIKI), pasalnya 44 orang perwakilan mahasiswa/mahasiswi umat Hindu yang tergabung dalam Forum Pembinaan Kerohanian (FKP) Kesatuan Mahasiswa Hindu (KMH) STIKI Indonesia berhasil menuju Puncak Pura Lmpuyang Luhur di Kabupaten Karangasem serangkaian kegiatan Tirtayatara. Menurut Ketua FPK-KMH I Nyoman Widhi Adnyana, kegiatan tirtayatra tersebut merupakan kegiatan awal sejak terbentuknya FPK-KMH STIKI Indonesia pada awal bulan lalu, menurutnya kegiatan Tirtayatra tersebut merupakan agenda program kerja FPK KMH yang dilaksanakan setiap akhir semester sebagai bentuk sembah bhakti Mahasiswa/Mahasiswi umat Hindu STIKI Indonesia kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta disisi lain kegiatan ini bertujuan sebagai bentuk penyeimbang pengetahuan Iptek dengan keimanan seorang calon sarjana kelak dan Kegiatan ini merupakan bukti bahwa organisasi FPK-KMH bukan hanya sekedar organisasi Hindu yang hanya sebatas simbol saja akan tetapi ini adalah organisasi yang betul-betul real dalam menjalankan tujuan organisasi.Widhi Adnyana menambahkan, bahwa kegiatan tirtayatra ini juga secara tidak langsung merupakan pendidikan usur afektif (Sikap, Moral, Etika) di perguruan tinggi. Selain persembahyang bersama tersebut FPK-KMH yang di Nahkodai I Nyoman Widhi Adnyana ini juga berkesempatan untuk menghaturkan Punia berupa Tedung dan berupa Punia Jinah (Uang) di Pura Goa Lawah dan Pura Lempuyang. Sementara itu Ketua Panitia Kegiatan Tirtayatra PFK-KMH I Nyoman Surianto mengatakan bahwa seluruh sumber pembiayaan dari kegiatan tersebut adalah berasal dari iuran para peserta tirtayatra, sumbangan spontanitas dari anggota FPK-KMH dan dari lembaga STIKI Indonesia. Surianto menambahkan, kegiatan tirtayatra ini sifatnya tidak mengingat dalam artian hanya bagi mahasiswa/mahasiswi umat Hindu yang berkenan untuk ikut saja yang direkrut mengingat sembahyang merupakan hal yang tak dapat dipaksakan, tandasnya. Dalam kesempatan tersebut, para peserta tirtayatra mendapatkan wejangan Dharma Wecana dari salah satu Pemangku di Pura Lempuyang, dalam dharma wacana tersebut di ceritakan bhisama dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Lempuyang Luhur serta dijelaskan makna pentingnya melakukan sembah bhakti kehadapan Tuhan.

Humas FPK-KMH.

hindudharmastiki@gmail.com

Sabtu, 24 Juli 2010

Makna Upanayana

Menurut kamus Agama Hindu, Upanayana : Upacara penyucian murid yang baru belajar Weda yang dilakukan oleh seorang Guru. Dalam Kitab Sathapatha Brahmana dijelaskan : Bahwa seorang Acharya meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun anak itu sebagai simbol persatuan dan pencurahan seluruh personalitenya kepada murid-muridnya dan setelah itu barulah diajarkan mantra sawitri untuk menjadikannya sebagai seorang brahmana.(konsep-konsep śraddhā agama Hindu).

Upanayana artinya mendekatkan, saat itu si anak didekatkan dengan gurunya yaitu Guru spiritual. Sang Guru mengenakannya benang suci yang disebut Yajnopawita dan mentasbihkannya dengan pemberian mantra Gayatri dan sebuah tongkat. Ini merupakan permulaan dari Brahmacarya yaitu kehidupan membujang dan mulai kehidupan belajar. (Intisari ajaran Hindu, Paramita Surabaya, 2003).

Upanayana yaitu upacara ini siap dimana seorang anak untuk pertamakalinya diterima untuk masuk berguru pada seorang Guru spiritual. Umur anak itu dihitung sejak dalam bentuk pembuah pertama, artinya sembilan bulan sebelum lahir.(Manawadharmasastra II.36). Swadyaya yaitu belajar sendiri tentang Weda, mempelajari Weda. Wrata : brata, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu, berjanji untuk sesuatu yang melanggar ketentuan misalnya Sawitri wrata (brata sawitri), tidak makan daging, tidak tidur dan lain-lain. Melakukan Upacara Sawitri, upacara pengucapan mantra sawitri sebagai simbol masuk sekolah pertama. Mantra sawitri adalah mantra Gayatri. Berdasarkan ayat ini ditetapkan batas maksimum seseorang untuk memulai mengucapkan mantra sawitri (belajar) Yang kalau tidak dilakukan dalam batas umur itu mereka itu di ancam kapatita (dijatuhkan dari golongannya) dan menjadi wratya (orang barbar) yaitu golongan diluar warna yang empat dan dikucilkan dari kearyaannya.(Manawadharmasastra II.28). Seorang yang ingin ahli dalam Weda, menurut beberapa kritikus kurang tepat untuk dikaitkan bagi anak yang bersangkutan tetapi harapan orang tua si anak menginginkan anaknya ahli dalam bidangnya, ayahnya harus telah menyekolahkannya (mengupanayanakannya) pada umur yang lebih muda, seperti untuk golongan brahmana dimulai pada umur 4(empat) tahun 5(lima) bulan. (Manawadharmasastra II.38).

Seorang Brahmana yang di-inisiasi yaitu seorang Brahmacari, menurut ayat ini kehidupannya masih tergantung pada orang lain dan untuk menunjang kehidupan berguru dan tinggal di asrama itu, para Brahmacari diwajibkan untuk minta-minta sedekahan dari keluarganya. Waktu minta sedekah itu, tiap golongan memiliki cara sebutan untuk dipakai kepada tuan rumah yang diminta, yaitu Nyonya rumah dengan sebutan Bhawati dan sebagai kode tiap warna (golongan) mempunyai ketentuan untuk memakai istilah itu dengan meletakkan kata Bhawati paling depan dari nama, diantara nama dengan harapan permohonan.(Manawa dharmasastra II. 49-50).

Berdasarkan ayat ini pada permulaan dan pada penutupan pelajaran,seorang murid harus memberi penghormatan kepada seorang Guru dengan cara menyentuh kedua kaki guru itu sebagai tanda penyerahan diri sepenuhnnya dan kebaktian yang tulus. Menurut sistem weda, karena ajaran yang diterima pada waktu itu bersifat oral dan cara menulis belum dikenal maka setiap ajaran yang diterima harus didengar dengan baik dan untuk mendengar ajaran suci (Weda) diharapkan agar mencakupkan kedua belah tangan.

Karena itu orang-orang yang bijaksana harus berjuang dan berusaha keras menguasai seluruh indrianya yang gejolaknya diumpamakan seperti kuda yang menerjang menyusuri benda-benda lahiriah yang dapat menyesatkan. Pengendalian ini dilukiskan seperti perumpamaan seorang kusir yang mengendalikan kuda penghela kereta (badannya).(Manawadharmasastra II.88). Ada sebelas macam alat-alat yang harus dikendalikan, yaitu pikiran, alat perasa misalnya telinga, mata, hidung, kulit, lidah. Sedangkan alat penggeraknya adalah pelepasan, kelamin, tangan, kaki dan mulut. Adapun indria yang sangat terlambat oleh benda-benda jasmani yaitu bila panca indria ini sangat gemar akan dipuaskan oleh benda-benda jasmani yang dapat memberi kesenangan lahiriah. Pengendalian indria itu tidak hanya tergantung dan dapat berhasil melalui belajar Weda atau beryajna, melakukan niyama ataupun tapa. Niyamabrata yaitu sepuluh macam tuntutan sikap mental yang harus dipenuhi yaitu dana (sedekahan), ijya (bersembahyang), tapa(menggembleng diri dengan bersamadhi), dhyana (merenung dengan penuh pemusatan pikiran atau sesuatu tujuan yang baik), swadyaya (mempelajari dan menghayati ajaran-ajara weda dan mengenalkannya), upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex), Brata (mengendalikan panca indria dan taat pada sumpah), upavasa (berpuasa), mona atau mauna (mengendalikan kata-kata dengan tidak berkata-kata yang tidak perlu) dan snana (membersihkan badan, misalnya mandi). Samdhyam yaitu bersembahyang, menyatukan diri atau menghubungkan diri, Japa : mengucapkan mantra-mantra. Dalam bercakap dan menjawab pertanyaan seorang guru, seorang siswa tidak boleh berbuat demikian yaitu dengan sambil lalu, misalnya dengan sambil lalu, misalnya sambil berbaring, duduk ditempat tidur, dan pergi membuang muka. Untuk mencapai kebajikan dan kebahagiaan seseorang tidak boleh menetap dalam satu tempat, melainkan harus mencari pengalaman-pengalaman dari guru-guru yang lebih dari satu perguruan ke perguruan lainnya.